KPI Karyawan Tak Selalu Baik, Apa Akibatnya?

KPI Karyawan tak cukup untuk ukur kinerja karyawan

Sebagai spesies, manusia telah mengembangkan sistem pengukuran yang tepat untuk menggambarkan dunia. Kilogram membantu kita mengukur massa, meter melakukan untuk mengukur panjang, bahkan kita memiliki satuan ukur untuk radioaktivitas yang disebut becquerel (curie di AS).

Yang tidak kita miliki adalah cara untuk mengukur inspirasi, ambisi, persahabatan, atau cinta. Seseorang dapat berpendapat bahwa hal-hal yang paling penting bagi kita bukanlah hal-hal yang telah kita rancang satuan pengukurannya, melainkan hal-hal yang tidak dapat kita ukur.

Namun, dengan orang-orang yang menghabiskan lebih dari sepertiga dari seluruh hidup mereka di kantor, tempat kerja jarang ingin repot dengan aspek-aspek pengalaman manusia yang tidak dapat diukur itu.

Tempat kerja adalah tempat yang diatur dan ditentukan oleh waktu, produktivitas, hasil, dan efisiensi. Semuanya dituangkan dalam KPI karyawan yang terus diperbarui dan dievaluasi tiap tahunnya.

Apakah ini baik? Apa risiko yang terkait dengan pendekatan ini?

Blog terkait:

5 Soft Skill Penting dalam Dunia Kerja

5 Soft Skill Penting dalam Dunia Kerja yang Harus Anda Miliki

Daya Tarik Data

Dengan mengembangkan kerajaan industri baja abad ke-19, Andrew Carnegie menjadi salah satu orang Amerika Serikat terkaya dalam sejarah.

Ia pernah berkata, "Pekerja tidak punya urusan lain selain upahnya, sama halnya seperti sebongkah batu bara yang sangat terkait dengan penentuan harganya." Pernyataan itu mengkhianati pandangan mekanistik terhadap kehidupan, masyarakat, dan manusia.

Ekonomi modern mungkin telah berevolusi selama bertahun-tahun, tetapi akarnya tetap ada pada masa revolusi industri. Banyak kelemahan sistemiknya dapat dikaitkan dengan pola pikir pabrik, yang memandang segala sesuatu sebagai sumber daya yang harus dioptimalkan.

Metode ilmiah memungkinkan manusia untuk mempelajari fenomena alam, mengumpulkan data, dan menciptakan proses yang dapat direplikasi dengan hasil yang konsisten.

Dengan terobosan teknologi yang dihasilkan, banyak aspek kehidupan dan alam yang diserahkan kepada kendali kita. Misalnya saat ini, kita bisa mengubah suhu ruangan dengan mengklik tombol, berpindah tempat dengan aplikasi, bahkan menemukan jodoh juga lewat teknologi. Kita menginginkan tingkat kendali penuh dan konsistensi yang sama dalam dunia bisnis.

Sayangnya, bisnis penuh dengan ambiguitas dan ketidakpastian. Kita mencoba menjinakkan ketidakpastian ini dengan data. Data menjadi tombol dan katup yang kita yakini dapat kita sesuaikan untuk membuat realitas sesuai dengan visi kita. Orang-orang berharap bisnis adalah ilmu empiris, dan metrik memberi mereka perasaan seolah-olah ada kepastian.

Saat ini, sebagian besar penduduk merupakan bagian dari ekonomi kreatif dan berlandas pengetahuan. Pekerjaan mereka didorong oleh ide, yang membutuhkan pemikiran konseptual dan kreativitas.

Seberapa baik parameter produktivitas, penilaian kinerja ala revolusi industri diterjemahkan ke dalam jenis pekerjaan ini? Sering kali tidak klop.

Tren Budaya Kerja untuk Bangun Kepuasan Karyawan di 2024

5 Tren Budaya Kerja untuk Bangun Kepuasan Karyawan di 2024

Menjadi Terobsesi dengan Data

Setiap departemen memiliki metrik kinerja dan indikator kinerja utama (KPI). Dalam upaya untuk melakukan pengoptimalan tanpa henti, mereka terus berusaha untuk meningkatkan hasil lewat angka.

Hasilnya adalah pandangan sempit yang didorong oleh data, yang memaksa individu dan tim untuk bekerja demi poin data daripada secara aktif berusaha meningkatkan hasil bisnis. Akibatnya, pekerjaan sering kali menjadi lebih berorientasi pada performa angka daripada kualitas hasil. Bahayanya pun lebih signifikan dari itu.

Pada akhir tahun 2000-an, bankir Amerika yang mencoba memenuhi target kerja mulai memberikan pinjaman kepada orang-orang yang secara parameter tidak memenuhi syarat untuk mendapatkannya.

Inilah salah satu faktor yang mengakibatkan krisis hipotek subprime, yang memicu resesi global tahun 2008.

Bank Wells Fargo mendapati reputasinya meningkat setelah keluar dari krisis keuangan tahun 2008 dalam kondisi yang relatif baik. Pada tahun-tahun berikutnya, mereka mengubah strategi cross-selling mereka menjadi metrik cross-selling dan fokus pada peningkatan jumlah akun baru.

Karyawan menggunakan taktik licik untuk mempermainkan angka-angka ini. Pada tahun 2018, taktik itu telah menghancurkan kredibilitas mereka dan mengakibatkan denda jutaan dolar. Ini adalah contoh bagus dari efek kobra, yang akan kita bahas di bagian selanjutnya.

Masalah ini meluas di luar dunia bisnis. Kita kerap membaca laporan berita tentang perguruan tinggi di negara kita menghasilkan bakat yang tidak dapat diserap di dunia kerja.

Ketika kita terlalu mementingkan metrik nilai atau angka, fokusnya bergeser sepenuhnya dari tujuan pendidikan yang sebenarnya.

Tidak heran jika secara tidak langsung pendidikan hanya berkisar pada urusan pembelajaran hafalan. Hal ini menunjukkan bagaimana lembaga—dan seluruh masyarakat juga—rentan terhadap risiko membiarkan metrik mendefinisikan realitas.

Metrik Sebagai Manajemen dan Bagaimana Data Dapat Menyesatkan

Organisasi dengan hierarki top-down merasa mudah untuk memutuskan metrik dan KPI tiap karyawan serta membebankannya kepada mereka. Hal ini memungkinkan manajer untuk meminta pertanggungjawaban karyawan dan melacak progres kerja mereka.

Sebut saja ini pendekatan 'metrik sebagai manajemen' (Metric as management). Peningkatan angka memastikan bahwa tugas telah dikerjakan dan karyawan tidak membuang-buang waktu mereka.

Manajer dapat mengurangi perhatian aktif yang perlu mereka berikan untuk suatu masalah dengan membuat angka menjadi sangat penting.

Dalam organisasi yang mengikuti metode 'metrik sebagai manajemen', pepatah lama 'kualitas lebih baik daripada kuantitas' diabaikan.

Misalnya, tim penjualan mungkin menggembar-gemborkan jumlah prospek yang mereka dapat sebagai suatu pencapaian. Namun, gambarannya tidak lengkap tanpa kualitas prospek dan tingkat konversi.

Hal yang sama berlaku untuk jumlah unduhan aplikasi misalnya. Yang penting jumlah unduhan, urusan yang mengunduh itu aktif menggunakan aplikasi atau tidak, itu tidak lagi penting. Padahal, jumlah pengguna aktif bulanan lebih membantu dalam memahami pendapatan di masa mendatang.

Sering kali, membingkai masalah dalam istilah kualitatif dapat menginspirasi tim dan menghasilkan hasil yang lebih baik. Jika tim media sosial Anda diberi target membuat Instagram Reels tiga kali seminggu, mereka akan merasa telah melakukan pekerjaan mereka saat memenuhi kuota tersebut. Namun bagaimana dengan kualitasnya, engagement, atau bahkan yang dapat dikonversikan dari konten itu?

Saat Anda membingkai masalah secara berbeda dan mengganti target dengan tujuan, seperti meningkatkan engagement, mereka mulai mengatasi masalah secara berbeda.

Tim media sosial akan mungkin akan mengurangi jumlah konten. Namun mereka mungkin akan menjajal gaya konten baru, mencoba hal-hal baru, hingga menemukan pendekatan yang berhasil.

Tanpa target jumlah konten yang membayangi pikiran, mereka juga mendapatkan kebebasan kreatif untuk berpikir out of the box. Mereka dapat menggali diri mereka sendiri, menemukan empati sejati terhadap titik-titik masalah pelanggan, dan membuat konten bermakna yang terhubung dengan mereka. Kualitas mengalahkan kuantitas.

Banyak bisnis saat ini berhasil tampil beda dengan memprioritaskan OKR (Objective Key Result) daripada KPI karyawan. Mereka berfokus pada hasil yang lebih luas dan kurang bergantung pada metrik.

Mereka memberi ruang bagi ambisi dan pemikiran yang tidak biasa, sedangkan sistem yang terakhir lebih satu dimensi.

Organisasi perlu berhati-hati untuk tidak menyembah "dewa-dewa palsu". Metrik seperti jumlah prospek atau jumlah unduhan dapat meninabobokan Anda ke dalam rasa aman dan pencapaian semu sambil menutupi realitas bisnis yang prinsip.

Banyak organisasi menjadi mangsa. Penilaian kinerja lewat metrik-metrik angka itu memang terlihat bagus di atas kertas dan merupakan alat penjualan yang baik, setidaknya untuk menarik investor.

Namun, ketika metrik tersebut dianggap serius oleh tim internal sebagai lampu penuntun mereka, hal itu akan menyesatkan. Jika metrik utama Anda tidak selaras dengan strategi Anda, maka mengoptimalkan metrik tersebut dapat menjadi tindakan yang merugikan diri sendiri.

Ketika mengukur sesuatu menjadi norma, tidak ada ruang untuk inspirasi dan pemikiran lateral. Inovasi tidak dihargai. Fiksasi metrik menciptakan titik buta dan pandangan sempit bagi bisnis, karena fokus yang berlebihan pada parameter tertentu, dengan biaya peluang tersembunyi.

Tanpa sepengetahuan pimpinan, hal ini membuat bisnis lebih rentan terhadap gangguan dari organisasi lain yang mempromosikan ide-ide kreatif.

Insentif merupakan efek samping dari pendekatan yang terobsesi dengan angka. Fokusnya bergeser dari peningkatan hasil bisnis ke manipulasi metrik untuk menghindari pengawasan, mengelola deadline, atau mendapatkan penghargaan dan pujian.

Ekonom Jerman Horst Siebert menjulukinya sebagai Efek Kobra berdasarkan anekdot dari India Britania. Efek Kobra berasal dari Pejabat Inggris di Delhi yang ingin memberantas populasi ular berbisa dan mengumumkan hadiah untuk ular kobra mati yang dibawa kepada mereka. Mereka secara tidak sengaja memunculkan jenis "profesi" baru, yaitu petani kobra.

Sementara itu, di India modern, dan sesungguhnya di Indonesia juga, efek kobra telah terjadi di sektor UMKM. Banyak pelaku UMKM lebih suka untuk tetap kecil agar bisa mendapatkan berbagai insentif dari kebijakan dan skema ke jenis bisnis ini.

Meskipun jajaran pimpinan yang waspada dan bijaksana dapat mengatasi banyak masalah yang terkait dengan dampak negatif penilaian kerja, sayangnya hal itu tidak selalu tergantung pada mereka. Organisasi yang terdaftar di bursa saham atau didanai oleh perusahaan modal ventura menghadapi tekanan eksternal untuk melacak dan meningkatkan angka demi menenangkan pemegang saham dan investor.

Para pemangku kepentingan ini ingin memastikan imbal hasil yang tinggi atas investasi mereka dan akan berusaha keras untuk mendapatkan hasil yang menurut mereka baik, bahkan jika itu bertentangan dengan visi perusahaan.

Kami di Zoho berupaya keras untuk tidak menggunakan tangan investor agar terbebas dari tekanan ini.

Mengelola yang Tidak Berwujud

Banyak aspek penting dari pekerjaan dan kapitalisme yang sifatnya abstrak. Misalnya, Anda tidak dapat mengukur mengapa orang senang bekerja di perusahaan tertentu, atau apa yang membuat cerita dan mitologi tentang sebuah merek lebih unggul dari yang lain.

Tidak mungkin juga untuk mengukur atau memprediksi kreativitas yang mendorong inovasi. Namun, retensi karyawan, ekuitas merek, dan keunggulan R&D adalah semua bidang yang secara aktif diinvestasikan oleh perusahaan.

Faktanya, sering kali, hal-hal yang tidak dapat diukur perlu ditanggapi dengan lebih serius karena tidak dapat dengan mudah ditiru. Jika Anda memiliki tim yang memiliki kekompakan hebat dan menghasilkan ide-ide kreatif, pastikan Anda melakukan yang terbaik untuk mempertahankannya.

Jika Anda memiliki reputasi sebagai pemberi kerja yang hebat, lakukan yang terbaik untuk menjaga budaya organisasi Anda, betapapun tidak berwujudnya aset tersebut.

Fakta bahwa aset tertentu sulit diukur tidak boleh disamakan dengan kurangnya kepentingan. Satu kesalahan yang tidak dapat Anda lakukan dalam hal yang tidak dapat diukur adalah mengambil keputusan yang berlebihan.

Sayangnya, banyak bisnis tidak menyadari hal ini. Misalnya, mereka mungkin salah mengira dekorasi interior modern, tata letak kantor terbuka, dan konter makanan ringan dan minuman sebagai budaya organisasi yang baik. Ini mungkin tampak berhasil untuk sementara waktu, tetapi kelemahannya akan terlihat seiring waktu.

Langkah yang tepat adalah menginvestasikan waktu dan energi untuk menyusun visi jangka panjang untuk budaya, yang berakar pada filosofi organisasi. Menanamkan visi perusahaan ke dalam budayanya dan menyusun strategi ke dalam narasi jangka panjang yang memuaskan akan membuat bisnis tampil berbeda.

Baca juga:

Menciptakan Nilai Jangka Panjang

Bagi bisnis, metrik bisnis adalah cara untuk memberikan bentuk pada konsep yang abstrak. Terkadang, metrik yang dituangkan dalam KPI perusahaan merupakan cara yang efektif untuk mengukur progres dan membandingkan hasil untuk melihat apakah Anda berada di jalur yang benar.

Di lain waktu, penekanan berlebihan pada KPI dapat menjadi kereta yang lepas kendali yang justru menghancurkan nilai perusahaan.

Ketika obsesi untuk mengukur sesuatu dihilangkan, sungguh mengejutkan apa yang dapat organisasi capai. Jika Anda telah melakukan pekerjaan dengan baik dalam merekrut orang, otonomi akan terbukti menjadi salah satu faktor pendorong terbesar bagi karyawan.

Mereka akan melakukan yang terbaik untuk memberikan nilai alih-alih melakukan pekerjaan yang sia-sia, dan mereka akan lebih berinvestasi dalam keberhasilan perusahaan sebagai hasilnya.

Kepemimpinan yang sesungguhnya adalah tentang menginspirasi orang, bukan mengelola metrik.

Orang tidak mengikuti lembar kerja saat berperang. Mengukur efisiensi proses dan hasil merupakan bagian penting dari pekerjaan yang tidak akan, dan tidak boleh, hilang.

Namun, penting untuk tidak terbawa suasana. Pendekatan yang seimbang akan menjadi kunci untuk menemukan keberhasilan dan menciptakan organisasi yang berkelanjutan yang dihargai orang dalam jangka panjang.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Kode bahasa komentar.
Dengan mengirimkan formulir ini, Anda setuju dengan pemrosesan data pribadi sesuai dengan Kebijakan Privasi.

Postingan Terkait